Sekjen DPN Peradi SAI, Dr. A. Patra M. Zen, S.H., LL.M dan Ketua DPC Peradi SAI Purwokerto, H Djoko Susanto SH
Lingkar Keadilan, BANYUMAS - Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat oleh Pengadilan Tinggi (PT) yang diperintah Mahkamah Agung, kepada Razman dan Firdaus menuai beragam tanggapan.
Salah satunya dari Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (DPN PERADI SAI), Patra M Zen.
Patra mengungkapkan bahwa regulasi mengenai profesi advokat masih memiliki sejumlah kelemahan, terutama terkait dengan pemberhentian, pengembalian hak, dan penerimaan kembali advokat yang telah menerima sanksi.
Menurut Patra, pada saat diterbitkannya Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) pada tahun 2002, dasar pemikiran yang digunakan adalah pembentukan organisasi advokat dengan sistem wadah tunggal.
KEAI ini dirancang sebelum disahkannya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003.
"Jika kita merujuk pada Pasal 16 KEAI, tidak ada istilah ‘pemecatan dari profesi advokat’. Sanksi tertinggi yang dikenal adalah pemecatan sebagai anggota organisasi profesi. Hal ini tidak menjadi masalah selama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) berfungsi sebagai wadah tunggal sampai tahun 2008," ujar Patra.
Pemberhentian advokat telah diatur secara tegas dalam Bab IX KEAI. Setiap advokat yang terduga melanggar kode etik akan diperiksa oleh Dewan Kehormatan tingkat Cabang dan dapat mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat.
Namun, masalah muncul setelah Peradi tidak lagi diakui sebagai satu-satunya organisasi advokat pada 2008, ketika sekelompok advokat mendeklarasikan pembentukan Kongres Advokat Indonesia.
Akibatnya, sanksi dalam Pasal 16 KEAI menjadi tidak efektif, karena advokat yang diberhentikan dapat bergabung dengan organisasi advokat lain.
Situasi semakin kompleks pasca Munas II Peradi di Makassar pada Maret 2015, yang menyebabkan perpecahan kepemimpinan Peradi menjadi tiga kubu.
Setelah konflik internal tersebut, muncul Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang mengatur soal penyumpahan advokat.
"Surat Ketua MA ini mengatur bahwa advokat yang belum bersumpah bisa diajukan ke Pengadilan Tinggi atas permohonan organisasi advokat yang mengatasnamakan Peradi atau organisasi lainnya sampai terbentuknya UU Advokat yang baru," kata Patra.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak organisasi advokat yang terbentuk, mencapai puluhan jumlahnya, namun ini memunculkan masalah terkait standar pendidikan, perekrutan, dan penerapan kode etik yang tidak seragam.
Patra memberi contoh, "Seorang advokat yang sudah dijatuhi sanksi pemberhentian dari satu organisasi bisa diterima dengan baik oleh organisasi lain."
Menanggapi pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat oleh Pengadilan Tinggi, Patra menilai langkah ini sebaiknya dipandang sebagai langkah sementara untuk penerapan sanksi terhadap advokat.
Hal ini, menurutnya, adalah pertama kali terjadi sejak UU Advokat disahkan.
Patra pun mendesak agar segera dilakukan perbaikan terhadap UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan melibatkan masukan dari berbagai organisasi advokat yang ada.
Lebih lanjut, Patra menjelaskan bahwa beberapa organisasi advokat, termasuk Peradi SAI, Peradi Rumah Bersama Advokat, dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), tengah berupaya untuk membentuk Dewan Advokat Nasional (DAN) serta Majelis Kehormatan Bersama.
Langkah ini bertujuan agar putusan Dewan Kehormatan di satu organisasi advokat dapat mengikat organisasi lainnya.
Sementara itu, Ketua DPC Peradi SAI Purwokerto, H Djoko Susanto SH juga menyatakan, bahwa meskipun tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, pembekuan BAS Advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi atas perintah Mahkamah Agung RI justru semakin memperburuk citra dunia hukum di Indonesia.
Menurut Djoko, Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan kekuasaan.
Ia menegaskan bahwa setiap profesi penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, dan advokat, memiliki undang-undang (UU) masing-masing yang mengatur tugas dan wewenangnya.
"Karena itu, tidak boleh ada tumpang tindih (overlapping) antara peran satu dengan yang lainnya," ujar pengacara yang akrab disapa Djoko Kumis itu.
Lebih lanjut, Djoko mengutip Pasal 5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa advokat memiliki status sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri dalam menjalankan tugasnya.